Begini Rasanya Keramahan Desa Wae Rebo Flores

Begini Rasanya Keramahan Desa Wae Rebo Flores


detikTravel Community -

Berkunjung ke Flores kurang lengkap rasanya bila tak ke Desa Wae Rebo. Traveler bisa merasakan keramahan yang hangat jika berkunjung ke desa ini.

Desa Wae Rebo terletak di puncak pegunungan Kabupaten Manggarai Barat, Flores. Bisa ditempuh dengan jalur darat dari Labuan Bajo memakan waktu sekitar 5 jam untuk sampai di Desa Denge. Setelahnya harus melakukan trekking setidaknya 2 jam untuk mencapai Desa Wae Rebo. Sudah berumur sekitar 1200 tahun dan telah mendapatkan berbagai penghargaan salah satunya adalah UNESCO Asia Pacific Award for Cultural Heritage Conservation pada tahun 2012.

Tepat pukul 17.45 mobil sewaan kami tiba di Desa Denge, desa terakhir menuju Desa Wae Rebo. Untuk menuju desa Wae Rebo tidak ada cara lain selain mendaki karena letaknya di daerah pegunungan. Setelah berdiskusi kami putuskan juga untuk mendaki saat itu juga dengan pertimbangan hemat waktu dan hemat biaya tentunya. Dengan bermodalkan satu senter kecil kami pun mulai melakukan pendakian.

Salah satu dari teman kami mulai merasa tidak nyaman, karena tidak ada penerangan sama sekali, kecuali senter kecil dan melewati jalur trekking gunung pada umumnya yang sempit di antara semak belukar tidak ada aspal, masih tanah asli, melewati sawah, kebun dan ladang, di tepi kanan kiri adalah jurang. Tapi kami tetap melaju karena untuk kembali lagi sama saja dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Meskipun berat dan lelah kami tetap melaju, tidak ada istirahat, hanya sekali minum air dan terus melaju tanpa henti.

Sampai akhirnya kami menemukan gardu kentongan yang berarti kita sudah sampai. Setelah membunyikan kentongan sebagai isyarat kami datang, kami melanjutkan perjalanan lagi dan sekitar 200 meter kemudian kami sudah bisa melihat rumah-rumah kerucut. Total perjalanan yang kami tempuh genap 2 jam. Kalau dihitung total trekking yang kami lakukan di hari itu adalah 4 jam. Karena sebelum ke desa ini kami mampir dulu ke air terjun Cunca Wulang yang jarak tempuh pulang perginya adalah 2 jam.

Kami pun memasuki rumah ketua adatnya. Beliau memberikan ritual singkat dan sederhana. Yang intinya perjalanan kami menuju desa dan keluar desa mendapat perlindungan para leluhur setempat yang artinya kami juga harus mematuhi adat istiadatnya. Beliau juga menyampaikan bahwa kami bukan lagi orang dari mana kami berasal tapi sudah merupakan warga Desa Wae Rebo. Keren ya. Setelah ritual selesai kami pun menuju rumah penginapan yang berbentuk kerucut juga. Ternyata di dalam sana sudah ramai pengunjung dan ada sekitar 15 orang yang sudah tiba di beberapa jam sebelum kami tiba.

Setibanya di sana kami disambut oleh salah satu kerabat ketua adatnya. Tak lama kemudian acara utama datang adalah makan malam bersama. Wah kami memang datang di saat yang tepat. Informasi dari beliau bahwa di hari sebelumnya terdapat 53 orang yang menginap. Nggak kebayang kan betapa sibuk tukang masaknya. Setelah membersihkan diri kami pun keluar rumah di antara kegelapan untuk melihat cantiknya bintang-bintang di langit Wae Rebo. Aliran listrik yang diperoleh dari panel tenaga surya hanya untuk penerangan dalam ruangan saja, itu pun tidak berlangsung lama, sekitar pukul 22.00 sudah di padamkan lagi.

Jadi di sini tidak ada tv, sinyal HP apalagi internet. Tempat yang cocok untuk refreshing, menyatu dengan alam tanpa stress. Karena lelah dan mengantuk kami kembali ke rumah untuk beristirahat. Tempat tidurnya sederhana dengan beralaskan tikar, tapi ada bantal juga selimut tebal karena udara di desa ini dingin. Setiap orang tidur bersebelahan satu sama lain terasa seperti camping dalam satu tenda yang besar. Yang unik dari rumah adat ini selain atapnya yang berbentuk kerucut dan hampir menyentuh tanah adalah adanya 5 tingkat di dalam rumah. Masing-masing tingkat memiliki makna tersendiri.

Sekitar pukul 6, kami pun terbangun. Tampak sebagian besar orang sudah tidak di dalam rumah, kami pun memutuskan untuk keluar karena kami memang belum melihat area sekitar di bawah cahaya yang terang. Cantiknya rumah-rumah kerucut dengan latar belakang pegunungan yang indah dengan udara sejuk nan segar. Tampak salah seorang warga sedang melakukan aktivitasnya adalah mengolah biji kopi secara tradisional menjadi kopi yang siap di seduh. Terdapat 2 jenis kopi disini adalah Arabica dan Robusta.

Kopi merupakan mata pencaharian utama dari desa ini. Setelah puas berkeliling kami pun kembali ke rumah untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian acara bersantap pagi pun dimulai. Dengan menu nasi goreng dan telur dadar, krupuk serta sambal ala Flores yang rasanya enak sekali beserta teh hangat membuat kami semakin betah di desa ini. Jadi ingat dengan biskuit yang kami bawa kusus untuk anak-anak Wae Rebo. Setelah selesai kami pun keluar untuk membagikan biskuit kepada mereka yang sedang bermain-main.

Di sini anak-anak harus di bagi secara rata supaya tidak berebutan. Karena tidak adanya kios ataupun toko di sekitar, biskuit yang kami bawa menjadi biskuit special. Senang rasanya bisa berbagi dengan mereka walaupun cuma sedikit. Berhubung waktu sudah mendekati pukul 21.00 kami pun bersiap-siap untuk pamit. Setelah membayar uang restribusi desa dan akomodasi sebanyak Rp 325 ribu kami pun bergegas meninggalkan desa dan perjalanan menuruni gunung terasa sangat ringan sekali karena tidak ada pendakian lagi.

Di sepanjang jalan kami berpapasan dengan beberapa pengunjung baru dan beberapa warga setempat. Dalam waktu 1,5 jam kami pun sudah berada di depan mobil kami. Terimakasih Wae Rebo telah menerima kedatangan kami dan mengantarkan kami dengan selamat. Dan Terimakasih telah melestarikan alam dan adat istiadat selama ribuan tahun. Kami mendapat pelajaran berharga dari kunjungan ini.

قالب وردپرس

0 Response to "Begini Rasanya Keramahan Desa Wae Rebo Flores"

Posting Komentar